Mengapa ikan menebarkan bau amis???

|

Orang cenderung menghubungkan bau amis ikan dengan pasar dan restoran karena menurut mereka dimana mereka dapat mencium bau amis ikan? Akan tetapi ikan tidak harus bau amis, apabila ikan tersebut benar-benar segar.

Ketika baru beberapa jam di angkat dari air, ikan, kerang dan udang tidak akan mengeluarkan bau. Mungkin masih ada aroma laut yang segar, tetapi bau yang tidak menyenangkan. Ketika bahan makanan asal laut ini mulai mulai mengurai, barulah aroma amis merebak ke mana-mana. Dan ikan mengurai atau membusuk jauh lebih cepat daripada daging-daging jenis lain. Daging ikan, otot ikan terbuat dari jenis protein yang berbeda dibandingkan dengan daging sapi dan ayam, misalnya. Daging ini mengurai lebih cepat, tidak hanya karena dimasak, tetapi juga karena aksi enzim-enzim dan bakteri. Bau amis ikan berasal dari hasil penguraian (dekomposisi), terutama amonia, berbagai senyawa belerang dan bahan kimia bernama amina yang berasal dari hasil penguraian asam-asam amino.

Hidung manusia kebetulan peka terhadap bahan-bahan kimia. Bau tersebut sudah muncul jauh sebelum bahan makanannya sendiri menjadi tidak sehat untuk dikonsumsi, maka bau amis sedikit hanya ikan tidak segar, atau senikmat kalau baru diambil dari laut, tetapi tidak selalu berarti bahwa ikan itu berbahaya.

Alasan kedua mengapa ikan lebih lekas membusuk daripada daging lain karena di alam bebas-ikan memiliki kebiasaan menyantap ikan-ikan lebih kecil (Hukum rimba juga berlaku di bawah sana).Oleh sebab itu mereka melengkapi dengan enzim-enzim pencernaan yang efektif sekali untuk mencerna daging ikan. Setelah ikan ditangkap, jika enzim ini yang keluar dari usus akibat penanganan yang kasar, enzim tersebut dengan cepat bekerja pada daging ikannya sendiri. Itu sebabnya, ikan yang isi perutnya telah dibersihkan akan lebih tahan lama daripada yang masih utuh.

Alasan ketiga, bakteri pembusuk dalam dan pada ikan lebih efisien dibandingkan pada hewan darat karena bakteri tersebut dirancang untuk hidup di laut yang dingin. Hangatkan sedikit saja, bakteri itu akan bekerja lebig giat, untuk menghentikan kerja kotor mereka kita harus mendinginkan ikan lebih cepat dan lebih cermat daripada mendinginkan daging hewan berdarah panas. Itu sebabnya es merupakan teman nelayan yang paling baik. Es tidak hanya menurunkan temperatur, tetapi menjaga agar ikan tidak menjadi kering. Ikan tidak mau kekeringan, bahwa setelah mereka “meninggal menjadi jenasah ikan”.

Alasan ke-empat, pada umumnya daging ikan mengandung lebih banyak lemak tidak jenuh daripada daging hewan darat. Itu sebabnya kita lebih menghargai makanan hasil laut di zaman sarba antikolesterol ini. Akan tetapi lemak tidak lemak jenuh lebih lekas menjadi tengik (karena teroksidasi) dibanding lemak jenuh yang juga lebih lezat pada daging sapi, misalnya. Oksidasi terhadap lemak mengubah mereka menjadi asam organik berbau tidak sedap, yang pada gilirannya menambah aroma yang tidak sedap. Jika Anda tidak tahan dengan bau di restoran makanan hasil laut, sebaiknya Anda lekas-lekas mencari hamburger atau ayam goreng.

Pro dan Kontra SAS SMA DKI

|

….berikut beberapa pendapat tentang SAS dibeberapa situs….

1.) DKI sibuk dengan SAS,abai dengan KTSP dan MBS

Sejak 6 bulan yang lalu,Dikmenti Dinas Pendidikan Prov DKI Jakarta, telah mewajibkan semua SMA di Jakarta untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) tanpa menyiapkan SDM dan infrastrukturnya. Akibatnya server “hang” – ada 428 SMA x 200 siswa x 10 mata pelajaran – kekacauan data base menjadi mala petaka untuk siswa. Ada yang waktu di-entry, nilainya 6, tapi keluar print outnya 3,3 dan kesalahan tak bisa diperbaiki. Lalu tujuan komputerisasi apa kalau masih menolerir adanya kesalahan yang tak perlu?Belum lagi untuk mengatasi padatnya lalu lintas info, maka jam akses dibatasi. Kalau begitu, lebih baik data-data itu disimpan saja di TU masing-masing sekolah, hemat, praktis, efisien dan cepat saji (tak dibatasi jam akses). Yang lebih penting, SAS itu melanggar azas otonomi sekolah dan otonomi guru. Penyeragaman dan kendali satu tangan juga menyalahi prinsip-prinsip dari KTSP (yang dikukuhkan dengan Permen no. 22, 23 dan 24) dan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang dikukuhkan dengan PP no. 19 tahun 2007. Dalam KTSP sudah ada program komputerisasi yang jauh lebih canggih dari SAS, yaitu pada Dokumen II KTSP langkah ke 15 (penilaian berbasis kelas) dan langkah ke 16 (catatan kompetensi). Jadi jelas-jelas SAS itu merusak jiwa dari KTSP.

Dalam KTSP, guru adalah konseptor dan inisiator, sedangkan dalam SAS, guru diturunkan derajatnya menjadi sekedar adminsitrator, bahkan lebih rendah lagi, guru menjadi sekedar petugas data entry. Akibatnya semangat UU Guru dan Dosen (yang berupaya meletakkan dasar bagi penyetaraan guru dan dosen) menjadi kacau. Jiwa dari ketentuan “Sekolah Mandiri” yang telah dirumuskan oleh BNSP juga menjadi kacau, karena semua masalah kembali ditangani oleh Dikmenti Dinas Pendidikan. Kok tidak ada yang teriak tentang pembodohan yang terjadi di DKI ini. Demi proyek (SAS ini tidak gratis), semua aturan dan kaidah dilanggar. Kasar sekali cara mencari uangnya. (Sumber : http://forum.kompas.com/showthread.php?t=384)
2.) SAS, Perusak KTSP buatan Dikmenti Dinas Pendidikan DKI
Meskipun Pemerintah Pusat telah meletakkan dasar agar guru mumpuni seperti dosen lewat UU Guru dan Dosen (antara lain agar mampu membuat kurikulum sendiri, seperti dosen) dengan KTSP yang dikukuhkan oleh Permen no. 22, 23 dan 24, bahkan Pemerintah telah meletakkan dasar-dasar perbaikan manajemen yang dikukuhkan dengan PP. no. 19 tahun 2007, namun Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta tetap mewajibkan semua SMA di DKI untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) yang tidak gratis. Padahal semua kondisi yang ada di SAS sudah ada di KTSP dengan program komputer yang lebih canggih, bukan yang asal-asalan seperti SAS.
:? Kenapa SAS disebut asal-asalan? Karena guru dapat dengan mudah membeli peta konsep, indikator dan silabus dari Penerbit Yudhistira atau dari toko buku – sedangkan dalam KTSP, guru harus mengikuti 16 langkah penyusunan KTSP secara benar, sebelum dapat melakukan evaluasi dan mengisi rapor (Langkah ke 15 : Penilaian Berbasis Kelas dan Langkah ke 16 Catatan Kompetensi). Tak ada short cut atau contek dari silabus orang lain. Langkah 1 merupakan pre-requisite dari langkah ke 2 dst.nya. KTSP juga terdiri dari Dokumen I dan Dokumen II Yang merupakan penjabaran visi dan misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari. Dengan demikian, dalam KTSP, derajat guru adalah konseptor dan inisiator, sedangkan dalam SAS, guru diturunkan pangkatnya menjadi sekedar petugas adminstrasi, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry.

Masalahnya adalah, data siswa yang begitu banyak dalam SAS (420 SMA x 200 siswa x 10 mata pelajaran) bisa membuat server “hang”, lalu solusinya adalah : jam akses dibatasi. Kalau hari dan jam akses dibatasi (ingat program ini tidak gratis), maka jauh lebih baik kalau data-data itu dikumpulkan saja di TU masing-masing sekolah, praktis, ekonomi dan cepat saji. Belum lagi masalah kekacauan data base. Nilai yang di-entry 6, bisa keluar di print out 3,3.
Dan kesalahan ini tak bisa diperbaiki. Atau seluruh data harus di re-check lagi> belum lagi kerusakan yang terjadi pada pengertian hakekat dari KTSP dan MBS, yang menjunjung tinggi azas otonomi sekolah dan otonomi guru (yang telah dimapulasi oleh Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta). Ah, jaman reformasi ini kok masih ada mental proyek, intruksi penyeragaman dan perintah untuk mengikuti satu garis komando. Bravo untuk SMA Kanisius, SMA Santa Ursula, SMA SangTimur dan SMA N 13, yang tidak mau mengikuti SAS :wink: Proyek pembodohan dari DKI (Sumber: http://www.forumpendidikan.com/viewtopic.php?p=3375&sid=880a1d0a79a42a13f17b0120892bb0d8)
3.) SAS,sistim informasi gegabah yang menindas otonomi
Telah enam bulan ini Suku Dinas Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta mewajibkan semua SMA di DKI Jakarta untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) (yang tidak gratis). Setelah buku paket ditiadakan (buku pelajaran tak lagi boleh diproyekkan), maka Dinas Pendidikan seperti lesu darah, lalu cari-cari proyek apa saja, asal bisa menghasilkan duit. Di Prov. DKI Jakarta, Suku Dinas Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta, telah memaksa semua SMA untuk menggunakan SAS (sistim administrasi sekolah)(yang tidak gratis) – akibatnya begitu banyak data terkumpul sehingga server kerap “hang”.
Bayangkan ada 420 SMA di DKI x 200 siswa x 12 mata pelajaran – Data base jadi kacau, lalu jam akses sekolah dibatasi hari dan jamnya ! Sudah terjadi, nilai yang di-entry 6, keluar di print out 3,3 dan lucunya kesalahan tak bisa diperbaiki. Kalau begitu caranya, kan lebih baik kalau data itu disimpan saja di TU masing-masing sekolah – hemat, praktis, efisien dan tak ada celah untuk kesalahan memasukkan nilai.
Ada hal yang lebih serius :
1. SAS telah melanggar azas otonomi sekolah dan otonomi guru – penyeragaman sistim dan kendali satu tangan telah merusak jiwa dari reformasi yang telah digulirkan melalui UU Sisdiknas
2. SAS telah menurunkan derajat guru menjadi sekedar petugas administrasi bahkan lebih buruk lagi, guru diturunkan derajatnya menjadi hanya sekedar petugas data entry. Padahal dalam KTSP, guru adalah konseptor dan inisiator yang pangkatnya hendak diangkat sederajat dengan dosen melalui UU Guru dan Dosen. Akibatnya bila guru menekuni SAS, dapat dipastikan guru yang bersangkutan tak akan lolos dalam program sertifikasi guru yang mengharuskan guru menjadi seorang pendidik, seorang yang terus menimba ilmu, seorang pengabdi masyarakat dan seorang seseorang yang secara psikologis matang (mampu membimbing siswa)
3. SAS menabrak aturan diatasnya, yaitu KTSP (yang disusun berdasarkan Permen no. 22, 23 dan 24 tahun 2006) dan MBS (manajemen berbasis sekolah – yang dikukuhkan lewat PP no. 19 tahun 2007) serta program Sekolah Mandiri (yang diluncurkan bersamaan dengan program PADU)
4. SAS telah merusak jiwa KTSP, dimana guru dituntut untuk bisa membuat kurikulum sendiri seperti dosen, karena SAS memungkinkan guru untuk menyalin (copy paste) peta konsep, indikator dan silabus (bahkan soal-soal) dari penerbit Yudhistira atau beli dari toko buku – tak ada mekanisme kontrol, seperti halnya kalau seorang guru menyusun KTSP yang terdiri dari Dokumen I dan Dokumen II (lihat website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id lalu klik KTSP
5. SAS dipaksakan dengan cara-cara preman – Sekolah yang tak ikut SAS, tak boleh ikut UN atau Sekolah yang tak mau ikut SAS, akan dikeluarkan dari sistim. Preman bener !
6. SAS merupakan copy paste dari SSCI (sistim sekolah cerdas Indonesia) yang telah gagal diterapkan 10 tahun yang lalu. Dikmenti DKI Jakarta menganggap semua guru itu sudah pikun
7. SAS telah merusak harga diri guru, karena guru diperlakukan sebagai buruh, yang tak punya hak suara. Banyak guru telah menempuh pendidikan sampai S-2 dan telah banyak ikut penataran di luar negeri (terutama guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI), tapi dihadapan Dikmenti – mereka semua dianggap katrok dan gaptek
8. KTSP itu memerlukan program komputer yang canggih, terutama untuk langkah ke 15 (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke 16 (Catatan Kompetensi) – SAS itu menggampangkan masalah
9. Bravo untuk SMA Kanisius, SMA Santa Ursula, SMA Sang Timur dan SMA N 13 Jakarta yang telah berani menolak SAS. Ini bukan masalah komputerisasi, tapi masalah visi, mau dibawa kemana sekolah kita? Setelah ada UU Guru dan Dosen yang mewujud dalam Program Sertifikasi Guru, lalu ada MBS yang mengacu pada pola Sekolah Mandiri dan menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI), dan kemudian ada uji coba SKS (sistim kredit semester) di SMA N 78 dan SMA Santa Ursula – untuk apa SAS yang membodohi guru dan publik? Mahal lagi ! (Sumber:http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=89&func=view&id=67&catid=9)
4.) SAS, sistim informasi gegabah yang menindas otonomi sekolah
Sudah 6 bulan SAS (sistim administrasi sekolah) telah dipaksakan pemberlakuannya (tidak gratis) oleh Dikmenti Dinas Pendidikan Prov DKI Jakarta. Efeknya telah merusak hakekat dari KTSP (kemampuan untuk menyusun kurikulum yang dilandasi oleh Permen no. 22, 23 dan 24 tahun 2006) dan MBS (manajemen berbasis sekolah yang dilandasi oleh PP no. 19 tahun 2007). Tapi tak ada yang teriak,mau apa dengan proyek SAS ini ? Karena :
1. Otonomi guru telah dilanggar – dalam KTSP guru adalah inisiator dan konseptor, sedangkan dalam SAS, guru telah diturunkan derajatnya menjadi sekedar administrator, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry. Kenapa ?
2. Indikator yang disusun oleh setiap guru berbeda, akibatnya penilaian (evaluasi) juga berbeda-beda. Lalu untuk apa hasilnya dikumpulkan? Bukankah hasil ini tak dapat dianalisis? Sebab nilai 8 di SMA Santa Ursula akan sangat berbeda dengan dengan nilai 8 di SMA 8 Bukit Duri – so what gitu lho?
3. Data SAS yang dikumpulkan akan begitu banyaknya sehingga server bisa hang (ada 428 SMA kali 300 siswa kali 12 mata pelajaran dengan varian kelas X; kelas XI IPS,IPA dan Bhs; kelas XII IPS, IPA dan Bhs – apa mungkin servernya menampung begitu banyak data tanpa distorsi? Dan ini sudah sering terjadi, guru memasukkan data A, yang keluar adalah BCD dll Anehnya, kesalahan ini tak bisa dikoreksi lagi (artinya, kesalahan tak bisa ditelusur ditengah jutaan data yang ada)
4. Kalau disadari server bisa hang, lalu apakah solusinya : akses tiap SMA dibatasi hari dan jamnya? Kalau begitu lebih efektif kalau data itu dikumpulkan oleh TU masing-masing sekolah saja, murah, efisien dan efektif. Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta tak usah repot memunguti dana dari tiap SMA dan semua berjalan normal (business as usual). Bagaimana kalau pada hari dan jam yang ditentukan untuk akses, ternyata server tak bisa diakses? (seperti yang selama ini terjadi). Ah, proyek ya proyek, tapi bermainlah yang cantik, jangan korbankan siswa dan jangan langgar aturan di atasnya (Permen no. 22, 23 dan 24 serta PP no. 19 tahun 2007). Pada jaman reformasi ini, sudah sangat layak kalau tak ada penyeragaman dan perintah top down (instruksi). Pintu demokrasi telah dibuka, juga dalam dunia pendidikan. Jangan itu dirusak oleh ulah segelintir oknum yang tergiur proyek, lebih-lebih dengan memunguti dana dari sekolah. Kalau ada kesalahan, bisa masuk KPK lho (Wendie Razif Soetikno)
saya setuju ttg pendapat anda, tapi ada yang saya tidak setuju yaitu :Otonomi guru telah dilanggar – dalam KTSP guru adalah inisiator dan konseptor, sedangkan dalam SAS, guru telah diturunkan derajatnya menjadi sekedar administrator, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry. Kenapa ? sebenarnya otonomi guru tidak dilanggar dalam hal ini, karena program SAS
dimaksudkan untuk membantu para guru untuk menghitung, masukkan nilai, contoh ada pemeriksaaan, kita harus buka buku tahun ajaran sehingga merepotkan, jika pada software SAS tinggal masukkan nomor induk siswa langusng muncul data, foto, nilai sehingga tidak memusingkan.

Setiap manusia pasti punya kesalahan, sehingga dalam menghitung pun apsti ada kesalahan, sehingga penghitungan dibantu oleh komputer, kita liat saja diluar negeri smuanya serba AUTO, jika kita tidak menggunakan kapan negara ini bisa maju dan para guru dapat ketinggan dalam bidang


Teknologi informasi.

jika soal serveng hang setahu saya lebih baiklah pakai yang bagus seperti server SQL SERVER lebih baik dibandingkan MySQL dan lainnya.

soal itu kembali pada kita sendiri.bagaimana kita mengaturnya

(krisna_sma)
Saya prihatin dengan jawaban Bapak karena berarti hakekat dari KTSP tak dipahami :
sebenarnya otonomi guru tidak dilanggar dalam hal ini, karena program SAS dimaksudkan untuk membantu para guru untuk menghitung, masukkan nilai, contoh ada pemeriksaaan, kita harus buka buku tahun ajaran sehingga merepotkan, jika pada software SAS tinggal masukkan nomor induk siswa langusng muncul data, foto, nilai sehingga tidak memusingkan. Dalam KTSP (Dokumen II langkah ke 15 ada PBK (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke 16 ada Catatan Kompetensi. Kedua langkah ini memerlukan program komputer yang otonom dan jauh lebih canggih dari SAS. Kenapa KTSP lebih bagus dari SAS? Karena guru tak sekedar menjadi petugas data entry, tapi sungguh-sungguh seorang konseptor, sehingga tujuan UU Guru dan Dosen akan tercapai (guru dan dosen dianggap setara) = guru harus bisa membuat kurikulum sendiri (bukan beli silabus dari penerbit Yudistira) dan bisa menyusun alat evaluasi sendiri yang relevan dengan kondisi sekolahnya (sama seperti dosen). Kalau guru lokal sekedar membebek ikut SAS (yang tidak gratis), kapan guru lokal bisa bersaing dengan guru-guru asing yang mengajar di sekolah-sekolah internasional di Jakarta? Mereka bergaji besar karena kemampuannya menyusun kurikulum sendiri dan sistim evaluasi yang canggih.

Hal yang parah adalah, SAS tidak ada dasar hukumnya, sedangkan KTSP dibuat berdasarkan Permen no. 22, 23 dan 24 tahun 2006. Dan lagi SAS itu mengacaukan hakekat dari MBS (manajemen berbasis sekolah) yang disusun berdasarkan PP no. 19 tahun 2007. Come on baby, jangan jadi sapi perahan Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta – ikutilah SMA Kanisius, SMA Santa Ursula, SMA sang Timur dan SMA N 13 yang tak mau pakai SAS – Ini bukan masalah komputerisasi tapi masalah visi, mau dibawa kemana SMA kita? (Wendie Razif Soetikno) Sumber:http://www.forumpendidikan.com/viewtopic.php?p=3333&sid=1a92ae5515077a4cd5067e20bd0aebdb

Sumber : ciptoardi.wordpress

|

SEKOLAH RINTISAN KATEGORI MANDIRI

|


Mulai tahun 2007, Direktorat Pembinaan SMA Jakarta melakukan pembinaan terhadap 441 sekolah di Indonesia dengan Program Rintisan Sekolah Kategori Mandiri. Program ini merupakan satu langkah dalam upaya meningkatkan sekolah, terutama di SMA agar mampu mencapai level Standar Nasional Pendidikan.

Program rintisan dimaksudkan agar sekolah-sekolah yang hampir mencapai SNP atau yang telah mencapai SNP dapat mempersiapkan diri mencapai sekolah kategori mandiri pada tahun 2009. Dalam pelaksanaannya nanti, Sekolah Kategori Mandiri harus melaksanakan pembelajarannya dengan sistem SKS ( Satuan Kredit Semester ) dan melaksanakan MBS secara profesional

Masih banyak kendala dalam persiapan SKM yang dilaksanakan melalui program rintisan SKM, beberapa sekolah secara administratif belum siap apalagi jika dilihat dari sarana prasarana pendukung yang harus disiapkan. Hal lain yang perlu disiapkan dengan matang bagaimana struktur kurikulum yang dipakai, kesiapan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang tersedia serta yang paling penting sikap mental penyelenggara pendidikan untuk tidak pantang menyerah dan memiliki visi kedepan untuk memajukan pendidikan.

Mungkin yang harus dibenahi sekarang adalah bagaimana menyiapkan diri untuk tidak mengeluh, melihat kedepan dengan kebulatan tekat, memandang perubahan sebagai bagian untuk memperbaiki diri dan tetap menjaga semangat untuk terus berkembang.

Keberhasilan Program Rintisan Sekolah Kategori Mandiri tergantung kepada Kita.

|

Penggabungan UN dan Snmptn dipandang Efektif

|


Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menilai, penggabungan Ujian Nasional (UN) dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tak menyulitkan penerimaan mahasiswa program studi tertentu.

“Pihak Perguruan Tinggi (PT) nantinya tidak perlu menyelenggarakan ujian masuk (SNMPTN) untuk menyeleksi mahasiswa dengan materi sama seperti UN, misalnya matematika atau bahasa Inggris,” kata Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo di Semarang, Kamis (19/11).

Namun, kata dia, pihak PT nantinya hanya perlu menyelenggarakan tes untuk menyeleksi hal lain, seperti bakat, minat, kecerdasan, atau kepribadian, bukan materi yang sama seperti UN.

Ia mengatakan, pihaknya menyadari bahwa untuk program studi tertentu di PT, seperti kedokteran atau teknik, tentunya sangat berbeda dalam menentukan standar untuk penerimaan mahasiswa baru, sesuai bidang masing-masing.

“Karena itu, mereka (PT, red.) tetap dapat melakukan seleksi sesuai karakter bidang ilmu masing-masing, sedangkan materi tes umum dapat diambilkan dari hasil UN yang diperoleh para siswa,” katanya.

Menurut dia, pelaksanaan UN 2010 mendatang juga akan dilakukan dengan melibatkan peranan PT secara lebih intesif, sehingga kalangan perguruan tinggi dapat lebih memercayai hasil pelaksanaan UN.

“Kami memang tengah menyiapkan penyelenggaraan UN SMA dan MA dengan mengintensifkan keterlibatan PT, berkaitan dengan `scanning` (pemindaian) lembar jawab, pengawasan, hingga pengadaan soal ujian,” katanya.

Pengadaan soal UN, kata dia, akan dilakukan dengan menunjuk PT yang memiliki percetakan dan hingga saat ini pihaknya telah mendata ada sekitar 15 PT yang memilikinya.

“Namun, kesiapan mereka (PT, red.) untuk menangani pengadaan soal UN masih belum dikonfirmasi dan rencananya kami akan mengundang mereka untuk membahasnya pada Desember mendatang,” kata Mungin.

Sebelumnya, pemerhati pendidikan, Prof. Eko Budihardjo mengkhawatirkan penggabungan UN dengan SNMPTN akan menyulitkan proses penerimaan mahasiswa baru untuk bidang-bidang tertentu di PT.

“Apabila hanya UN yang dijadikan dasar untuk penerimaan mahasiswa PT, maka pihak PT akan kesulitan untuk menentukan kemampuan siswa untuk bidang atau ranah tertentu,” kata mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang tersebut.

Ia mencontohkan, penilaian siswa yang memiliki kemampuan di bidang kesenian tentu berbeda dengan bidang olahraga, apalagi kedokteran, sehingga penggabungan antara UN dengan SNMPTN belum dapat diterapkan dalam waktu satu-dua tahun mendatang.

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat pendidikan, Muhdi yang mengatakan setiap PT tentunya memiliki karakter dan standar yang berbeda dalam melakukan seleksi mahasiswa baru, apalagi program studi di PT beragam.

|

Peserta UN 2010 Dicampur

|

Jakarta, KOMPAS - Ujian Nasional tahun 2010 untuk siswa SMA sederajat akan berbeda dengan pelaksanaan ujian nasional sebelumnya. Selain waktunya dipercepat dari April menjadi Maret, peserta ujian nasional dalam satu ruangan merupakan peserta campuran dari sekolah lain.

Kebijakan Ujian Nasional (UN) campuran itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Bambang Sudibyo, pada 13 Oktober 2009. Dalam peraturan tersebut, pada Pasal 14 Ayat (2) dinyatakan, peserta ujian nasional, ”... dalam satu ruangan terdiri atas peserta ujian dari beberapa sekolah/madrasah dalam satu kecamatan dan/atau kabupaten/kota.”

Membingungkan guru

Kebijakan mencampur peserta UN itu membingungkan pihak sekolah, guru, dan siswa. Apalagi hingga saat ini kepastian soal perubahan-perubahan teknis dalam pelaksanaan UN belum juga disampaikan secara resmi ke sekolah.

Sejumlah pimpinan sekolah dari berbagai daerah, Rabu (25/11), mengatakan, rencana mencampur peserta UN menambah beban psikologis pelajar.

”Informasi itu memang belum resmi. Tapi kami sudah menyiapkan siswa bahwa mereka bisa ujian di sekolah lain. Kami kuatkan siswa, tidak masalah di mana lokasi ujian, yang penting bisa mengerjakan soal,” ujar Abdullah Tiahara, Wakil Kepala SMAN 1 Jakarta Bidang Kesiswaan

Haderani Thalib, Wakil Kepala SMAN 28 Jakarta Bidang Kesiswaan, menyatakan belum tahu soal informasi tersebut. Pihaknya masih menunggu pemberitahuan resmi pemerintah.

Wakil Kepala SMA Negeri 11 Yogyakarta Budi Basuki mengatakan, beban psikologis peserta UN tahun ini semakin berat dengan adanya percepatan waktu dan dicampurnya peserta UN. Untuk mengatasinya, sekolah mengadakan sejumlah acara peningkatan motivasi, antara lain achievement motivation training dan emotional and spiritual intelegence (ESQ).

Manggala Putra (16), siswa kelas III IPS SMA Bopkri I Yogyakarta, mengatakan, isu dicampurnya peserta UN tersebut telah santer terdengar sejak awal November ini. ”Kami jelas keberatan. Kami tidak mengenal kondisi sekolah lain. Belum tentu kami nyaman mengerjakan ujian di tempat itu,” ujarnya.

Informasi serupa juga telah didengar pelajar-pelajar di Kabupaten Kulon Progo. Jenia Dwi Khasanah (16), siswa kelas III IPA 1 SMAN 2 Wates, mengaku khawatir jika informasi itu menjadi kenyataan. Pengacakan nomor dan lokasi UN akan menyulitkan siswa yang rumahnya jauh.

Jenia sudah mengonfirmasi kebenaran isu ini kepada guru-guru di sekolahnya, namun hingga kini belum ada kejelasan. Ia hanya diimbau untuk mengabaikan isu itu dan lebih fokus pada persiapan UN.

”Kabar bahwa pelaksanaan UN dimajukan saja sudah memberatkan kami. Eh, sekarang malah ditambah dengan isu pengacakan lokasi ujian. Kami makin stres,” ujarnya.

Menurut Kepala SMA Negeri 6 Yogyakarta Rubiyatno, pengacakan lokasi UN dipastikan akan menimbulkan sejumlah kerumitan teknis, salah satunya pada pendataan serta pemetaan penempatan peserta UN. Pengacakan lokasi juga akan membuat kesalahan pengisian nomor lembar jawaban dan berakibat fatal.

”Pelajar masih sering salah atau lupa memasukkan nomor peserta atau kode soal. Kalau di sekolah sendiri, nomor yang benar akan lebih mudah dilacak, tapi kalau di tempat lain akan sulit,” ujarnya.

Secara terpisah, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, persiapan UN sedang dilakukan. ”Sekarang ini yang penting semua pihak melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya agar para pelajar juga tidak semakin bingung,” ujarnya seusai mengadakan pertemuan internal di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu.

|

|

 

©2009 tik`03 | Template Blue by TNB